Sepenggal Kisahku (Cerpen)

****

         Oik Cahya Ramadlani. Aku bersyukur orang tua ku memberiku nama seindah itu. Terlahir sebagai anak tunggal dan terus dituruti kemauannya, mengajarkan aku untuk menjadi seseorang yang haus akan perhatian.
         Tahun ini, umurku menginjak 17 tahun tapi sepertinya aku masih merindukan perhatian itu. Termasuk perhatian dari sahabat kecilku, Cakka. Dulu dia sangat baik padaku, Dia mengajarkan segala hal padaku, segala hal yang tidak kudapatkan dari orangtuaku.
         Cakka juga mengajarkan bagaimana seseorang harus memaknai hidup ini. Cakka membuatku bermakna, membuat hidupku berarti, membuat hariku cerah, dan membuat malamku terang. Entah karena, cinta atau bodoh, bagiku Cakka adalah orang baik dan selalu baik di mataku.
         Kejadian 7 tahun lalu, yang entah kenapa tidak pernah bisa aku lupakan.
         “Oik, kamu kenal Cakka?.” Tanya Debo –salah seorang sepupu jauhku-. Aku menggeleng.
         “Tidak, memangnya Dia siapa?.” Tanyaku pada Debo.
         “Dia sepupu aku. Yang di sana.” Debo menunjuk seseorang yang sedang duduk di depan rumah.
         Aku mengikuti arah telunjuk Debo dan menemukan sosok anak laki-laki yang sedang tersenyum ke arahku. Aku berbalik memastikan bahwa benar dia tersenyum padaku. Benar saja tidak ada siapa-siapa di belakangku, aku menatapnya dan membalas senyumnya.
“Dia suka kamu Ik. Katanya kamu manis. Kamu mau tidak jadi pacarnya.” Bisik Debo di telingaku.
         Seketika senyumku menghilang, berganti dengan wajah yang kebingungan. Waktu itu umurku masih 9 tahun jelas saja aku shock, itu pertama kalinya dalam hidupku laki-laki seumuranku bilang kalau aku manis.
         Aku berpaling menatap Debo dengan penuh tanya. “Kamu bercanda yah?” tanyaku.
          “Aku serius, Dia sedang menunggu kamu. Sana hampiri Dia. Dia tidak sabar ingin berkenalan dengan kamu.” Perintah Debo.
         Sedangkan aku masih terdiam di tempatku. Jujur baru kali itu ada yang bilang kalau aku manis dan baru kali itu juga aku merasakan hal aneh dalam hidupku dan saat itulah Cakka mengajarkan ‘kebahagiaan’ padaku. Kebahagiaan yang aneh dan belum pernah kurasakan dalam hidupku.

****

         Waktu itu aku belum kenal dekat dengan Cakka, hanya tahu namanya, begitupun sebaliknya. Walaupun begitu, entah kenapa rasanya sulit melupakan namanya. Tapi, aku berusaha untuk tidak ingat dengannya, aku berpikir Dia hanya bisa hidup dalam angan-anganku, mustahil aku bisa bertemu lagi dengannya.
         Tapi salah, tuhan mengaturnya lain. Ternyata itu bukan pertemuan pertama dan terakhirku. 1 tahun kemudian, aku kembali lagi bertemu dengan Dia. Di rumahnya, sewaktu Dia pindah rumah. Dia tinggal di Bandung, sedangkan aku tinggal di Banyumanik, Semarang, Jawa Tengah. Jadi saat Cakka pindah rumah, aku dan orang tuaku pergi ke Bandung tepatnya di rumahnya.
         Di sana, aku tahu, Cakka memiliki dua orang adik, dan Dia anak sulung. Adik pertamanya bernama Keke, dan adik keduanya bernama Irsyad. Saat itulah aku berkenalan dengan adik-adik Cakka juga Cakka, aku tinggal selama seminggu di sana.
         Hari ketiga, aku bermain bersama Cakka, dan Keke dan disitulah Cakka mengajarkan tentang kasih sayang, dan indahnya berbagi padaku.
          “Ik, ayo main sepeda.” Ajak Cakka saat aku sedang serius bermain bersama Keke di halaman rumahnya.
         Aku menatap Keke, ikut mengajaknya.
          “Yasudah. Ayo.” balas Keke kemudian berdiri.
          “Tapi aku tidak punya sepeda.” Kataku kemudian berdiri.
          “Kamu-” Belum sempat Keke menyelesaikan kalimatnya Cakka segera memotongnya.
          “-Aku bisa kok bonceng kamu.”
          “Ng…Tapi-”
          “Sudah ayo!” Cakka langsung saja menarik tanganku untuk mengejar Keke yang sudah jauh mengayu sepedanya.
          “Ayo naik!” perintahnya yang melihatku masih betah berdiri di samping sepedanya.
          “Yakin? Kamu bisa bonceng aku?” tanyaku pada Cakka.
          “Iya percaya deh sama aku.”
         Akhirnya dengan perasaan yang gugup aku naik ke bagian belakang sepeda Cakka. Sepeda Cakka tidak memiliki boncengan jadi terpaksa aku berdiri di belakang. Aku berpegang pada kedua pundak Cakka.
         Baru 5 menit berlalu. Kakiku sudah terasa pegal di tambah lagi jalanan yang berbatu dan menanjak.
          “Kamu tidak apa-apa, kan?” tanyanya.
          “Harusnya aku yang tanya kamu, apa kamu tidak kesulitan membonceng aku di jalan seperti ini.” Balasku.
         “Kamu ini lucu ya. Ditanya kok malah balik nanya. Jelas saja aku tidak kesulitan, aku kan laki-laki.”
         Tidak berapa lama kemudian, sepeda Cakka dan Keke berhenti di sebuah bukit.
          “Ini tempat main aku dengan kak Cakka.” Keke memberitahu.
         Aku hanya mengangguk, tanda mengerti.
         Cakka menuntun sepedanya ke atas bukit, Keke mengikutinya dari belakang. Sampai di atas, mereka mengambil barisan.
          “Kalian mau apa?” tanyaku saat sampai di atas bukit.
          “Balapan!” Jawab mereka serentak.
          “1...2...3...” Cakka menghitung dan pada hitungan ke tiga, mereka meluncur dan mereka sehat-sehat saja, tidak ada yang luka.
          “Sekarang giliran kamu Ik.” Kata Cakka sembari menuntun sepedanya.
          “Aku?” tanyaku khawatir.
          “Iya kamu.”
          “Kakak tidak akan kenapa-kenapa.” Kata Keke yang mengerti dengan ekspresiku. Dia kemudian menarikku ke arah sepeda Cakka yang sudah ada di atas bukit.
         Dengan hati-hati aku menaiki sepeda Cakka, lalu mulai mengayuhnya menuruni bukit.
          “Kamu tidak apa-apa kan?” Teriak Cakka.
          Aku membalasnya dengan anggukan kemudian menuntun sepeda Cakka kembali ke atas.
         Akhirnya kita pun bermain, bergantian, dan sekarang kembali giliranku. Aku menaiki sepeda Cakka, mengayuhnya perlahan tapi saat menuruni bukit aku tidak sengaja menabrak batu yang lumayan besar dan itu membuat sepeda Cakka oleng. Aku yang tidak bisa menjaga keseimbangan terjatuh dari sepeda.
          “A...” Aku menjerit saat aku dan sepeda Cakka menggelinding ke bawah.
          “Oik!” Pekik Cakka berlari ke arahku diikuti oleh Keke di belakangnya.
         Mungkin hari itu adalah hari sialku. Karena seingatku waktu itu aku berhenti bergelinding saat sebuah pohon menahanku. Lebih tepatnya aku terbentur di pohon itu, untung saja bukan kepalaku hanya badanku dan untung saja sepeda Cakka tidak menghantamku. Sepeda Cakka terus meluncur hingga sampai di bawah.
         Hantaman itu membuat badanku terasa sangat sakit dan sulit bergerak.
          “Oik kamu tidak apa-apa.” tanya Cakka berusaha membantuku berdiri.
          “Aw... Cakka jangan sentuh aku.” Rintihku.
          “Loh kenapa?”
          “Baadan aku sakit, aku tidak sanggup berdiri.”
          “Kamu ada yang luka?” tanya Cakka.
         Aku hanya meringis, Dia pun memeriksa tangan dan kakiku.
          “Kamu terluka. Kita pulang ya, kita harus mengobati luka kamu.”
          “Tapi bagaimana caranya? Badan aku sakit, aku tidak sanggup menggerakkannya.”
         Cakka membalikkan badannya, menyodorkan punggungnya kepadaku. “Biar aku gendong. Keke bisa kok bawa sepeda aku. Iya kan Keke” Cakka menoleh pada Keke.
          “Iya. Daripada kak Oik kesakitan.” Balas Keke.
         Aku menggeleng menolak. “Tidak perlu. Mungkin aku bisa jalan. kasihan Keke kalau harus nuntun dua sepeda sekaligus.” Aku mencoba untuk berdiri tapi tidak bisa. Aku pun kembali terjatuh untung saja Cakka menahanku.
          “Tidak bisa, kan. Bandel sih dibilangin.” Kata Cakka.
         Akhirnya aku mengalah dan membiarkan Cakka menggendongku, saat itulah Cakka mengajarkan aku tentang keikhlasan.
         Sesampai di rumah Cakka, rumah sepi mungkin orang tua Cakka belum pulang kerja, ayah aku sedang tidur, dan mama aku mungkin saja di kamar opung Cakka, bercerita dengan opungnya.
         Cakka membawaku ke kamarnya aku duduk di tempat tidur. Dia keluar dan kembali dengan membawa kotak P3K dan mulai mengobati lukaku.
          “Aw... Pelan-pelan Cakka, sakit.” Mataku mulai berkaca-kaca. Aku memang paling tidak tahan dengan sesuatu yang membuatku sakit. Aku sangat manja.
          “Maaf. Gara-gara aku kamu jadi seperti ini.” Mohon Cakka, menghapus air mataku.
         Aku mendongak menatapnya lalu menggeleng.
          “Ini bukan salah kamu. Aku yang ceroboh.” Balasku.
          “Tapi, seandainya aku tidak memaksa kamu, pasti ini semua tidak akan terjadi.”
          “Yasudah kita sama-sama salah.”

          Dan seminggu setelah itu aku dan orang tuaku kembali ke Banyumanik. Selama aku tidak bertemu dengan Cakka, aku tidak pernah berhenti memikirkannya. Memikirkan betapa baiknya dia padaku.

****


         Aku ingat, malam itu aku bingung harus tidur di mana. Kamar opung yang biasa kutempati bersama opung di sana ada sepupu Cakka. kamar Keke? Ranjang Keke hanya untuk satu orang. Kamar tamu? Di sana juga ada kedua orang tuaku. Karena tidak ada lagi kamar akhirnya aku memutuskan untuk tidur di depan televisi, tanpa alas apa pun dan bantal karena di depan televisi tidak ada sofa.
         Baru saja aku menutup mataku, seseorang membangunkanku.
          “Ik!” panggilnya.
         Aku membuka mataku menatapnya.
          “Ada apa Cakka?” tanyaku lalu bangun.
          “Sedang apa kamu di sini?” tanyanya balik.
          “Tidurlah. Kamu pikir aku sedang apa coba.” Jawabku.
          “Kamu tidur di kamar aku saja.”
          “Kamu tidur di mana kalau aku tidur di kamarmu?”
          “Aku bisa gelar tikar di sini.”
          “Yasudah tikarnya mana. Biar aku saja yang tidur di sini.”
          “Jangan. Kamu di kamar aku saja. Nanti badan kamu pegel-pegel kalau tidur beralas tikar.”
          “Cakka, badan kamu tuh yang akan pegal kalau tidur beralaskan tikar. Kamu kan belum pernah tidur beralaskan tikar.”
          “Aku sudah biasa kok. Sudah kamu di kamar aku saja.”
          “Tidak ah. Ini bukan rumah aku, aku tamu di sini jadi biar aku yang tidur di sini dan kamu tetap di kamar kamu.”
         Lelah berdebat denganku, Cakka pun berbaring.
          “Yasudah kalau kamu tidak mau ke kamar aku, aku tidak pakai tikar, juga tidak apa-apa.”
          “Cakka!”
         Cakka hanya mengangkat kedua alisnya.
         Aku menghela napas mencoba mengalah.
          “Baiklah. Aku pergi ke kamar kamu.”
         Cakka akhirnya berdiri dan berjalan ke kamarnya. Aku mengikut di belakang.
         Dia mengulurkan selimut padaku.
          “Ini selimut aku, kamar aku dingin banget lho. Biarpun AC-nya tidak menyala.”
         Aku menerima selimut Cakka lalu berbaring. Saat itu aku melihat betapa perhatiannya Cakka padaku dia kembali mengajarkan satu hal yang berharga untukku.
          “Malam Oik.”
          “Malam.”
         Cakka keluar dan menutup pintu kamarnya.

****

         Pagi menjelang. Aku bangun dari tidurku yang sangat nyenyak. Setelah merengganggkan otot-ototku, aku ke kamar mandi untuk mencuci muka, setelah itu membereskan tempat tidur dan keluar dari kamar Cakka, lebih tepatnya keluar ke beranda depan untuk menghirup udara segar.
          “Pagi om” Sapaku pada ayah Cakka ketika aku melihat ayah Cakka berjalan ke kamarnya.
          “Pagi..” balas ayah Cakka.
         Aku kembali berjalan dan mataku terantuk pada satu makhluk hidup yang sedang tertidur pulas di sofa ruang tamu.
          “Cakka?” Batinku lalu menatap ayah Cakka.
          “Om, Cakkanya tidur di sini?” tanyaku.
          “Om kurang tahu, karena sewaktu om terbangun, Cakka sudah ada di sofa. Mungkin dia tidur di situ” jawab ayah Cakka kemudian masuk ke kamarnya.
          “Astaga Cakka.” Gumamku.
         Aku menghampiri Cakka dan duduk disampingnya. Aku menggoyangkan tubuh Cakka.
          “Cakka, bangun sudah pagi.” Kataku berusaha menyadarkannya.
          “Cakka… Ayo bangun, kamu tidak mau ke sekolah ya?” tanyaku.
          “Hm apaan sih?” tanya Cakka masih dengan mata tertutup.
          “Cakka!” Kali ini aku meninggikan suaraku.
         Cakka akhirnya bangun, mengucek-ngucek matanya kemudian menatapku.
          “Oik? kamu sudah bangun?”
          “Iya. Semalam kamu tidur di sini?” tanyaku.
          “Tidak, aku tidur di depan televisi kok. Hanya saja setelah shalat subuh tadi, aku pindah tempat di sini.” Jawabnya.
         Tapi aku melihat kebohongan dari ekspresi wajahnya. “Kamu tidak bohongkan?”
          “Apa aku terlihat berbohong?”
         Aku mengangguk.
         Cakka mengacak rambutku. “Berarti kamu tidak bisa membaca pikiranku. Aku tidak mungkin bohong, Oik.”
          “Yasudah sana mandi. Memangnya kamu tidak sekolah?” tanyaku. Dia kembali berbaring kali ini di pangkuanku.
          “Hari ini aku sekolah siang.”
          “Eh... Kenapa tidur di sini, aku mau ke dapur. Ayo bangun, lanjutkan tidur kamu di kamar.” Kataku sambil mengangkat kepala Cakka.
          “Iya maaf.” Cakka pun berdiri dan pergi ke kamarnya.
         Aku mengurungkan niatku untuk ke beranda depan dan berjalan ke dapur. Di dapur, aku tidak membantu opung dan mama memasak. Aku hanya memikirkan kenapa Cakka rela membiarkan aku tidur di kamarnya dan dia rela tidur di sofa.
         Ya aku tahu tamu adalah raja, tapi bisa kan dia memberi aku tikar itu biar aku yang tidur di tikar, dan dia tetap nyaman tidur di kamarnya.

****

         Keesokan harinya, di rumah Cakka sepi. orang tua Cakka pergi bekerja, Cakka, dan Keke pergi kesekolah, Irsyad bermain di samping rumah. Orang tuaku dan opung Cakka pergi jalan-jalan dan aku tidak mau ikut dengan mereka.
         Aku duduk di sofa membaca Novel kesukaan Cakka yang juga aku sangat sukai. Di sofa ada satu tas, itu adalah tas kenang-kenangan bagi seseorang yang pernah mengikuti olimpiade karena di tasnya tertulis Olimpiade Sains Jakarta, Indonesia 2006.
          “Ini tas siapa?” Batinku.
         Seseorang membuka pintu. Aku menoleh dan Irsyad masuk.
          “Irsyad, kakak mau tanya ini tas siapa?” tanyaku.
          “Oh itu tasnya kak Cakka?”
          “Cakka?”
          “Iya, kak Cakka pernah mewakili Bandung untuk mengikuti olimpiade tingkat provinsi.  Irsyad mau ambil bola ya kak.” Kata Irsyad kemudian pergi.
         Aku terdiam masih tidak percaya, Dia mewakili kotanya, bukan sekolahnya, sungguh prestasi yang sangat menakjubkan. “Andai saja aku bisa sepintar Cakka.” Batinku.

****

         Siang harinya aku merasa bosan menonton televisi. Aku memutuskan untuk berkeliling di dalam rumah Cakka saja. Aku menemukan tangga ke lantai dua. Cakka tidak pernah menceritakan tentang lantai dua rumahnya akhirnya aku naik ke lantai dua.
         Di sana tidak ada ruangan apa pun. Hanya ada balkon, aku berdiri di dekat besi pembatas balkon itu. Dari sana, semuanya terlihat indah, bahkan bukit yang pernah aku tempati bermain dengan Cakka dan Keke terlihat lebih indah dari sini.
         Sedang asyik memandangi pemandangan di depanku seseorang mengagetkanku.
          “Hayo! Sedang apa di sini?” tanyanya.
          “Aduh. Cakka kamu itu, Kalau aku jatuh bagaimana?” Aku memanyunkan bibir.
          “Hadeh begitu saja ngambek. Iya deh aku minta maaf.”
         Aku memalingkan wajahku dan melipat kedua tanganku di depan dada.
          “Ik, maafin ya.” Mohon Cakka.
         Jujur wajahnya sangat lucu. Aku pun menahan tawaku. “Iya aku maafin.”
          “Ih baik deh.” Cakka mencubit kedua pipiku.
          “Aw.. Cakka sakit.” Aku memukul Cakka
          “Cakka Oik sedang apa kalian di atas, ayo turun.” teriak ayah Cakka, aku dan Cakka pun segera turun.
          “Pembatas Dia atas kan masih rapuh. Kalau kalian jatuh bagaimana?” Ayah Cakka menegur ketika kami sampai di bawah.
         Aku menunduk Cakka juga.
          “Maaf, Om.” Mohonku.
          “Ini salah aku Ayah, aku yang mengajak Oik naik ke atas.” Kata Cakka.
         Aku menoleh menatapnya. “Cakka.” Gumamku.
          “Ayah sudah berapa kali mengatakan pada kamu, jangan pernah mengajak siapa pun naik ke atas sana. Ayo ikut ayah.” Kata ayah Cakka lalu pergi ke kamarnya.
         Cakka ikut di belakangnya, berhenti sebentar dan berbalik ke arahku.
          “Ik, angkat wajah kamu!” perintahnya.
         Perlahan aku mengangkat wajahku.
          “Jangan cemas seperti itu. Tidak apa-apa kok. Ayah tidak akan kasar.” Katanya berusaha menenangkan aku.
         Pasti terlihat jelas bahwa wajahku sangat cemas. Tapi walaupun begitu Cakka tidak bisa membuatku tenang, aku tahu sifat ayah Cakka. Dia benar-benar sangat kasar kalau peraturan yang dia buat dilanggar oleh siapa pun itu.
         Perlahan aku mendekat ke pintu kamar ayah Cakka dan aku bisa mendengar kalau di dalam Cakka sedang dicambuk. Aku pun memilih untuk masuk ke kamar Cakka. lama aku menunggu Cakka pun masuk dengan jalan yang diluar dari biasanya, dia berjalan layaknya orang pincang dan terus memegangi pinggangnya.
          “Eh Oik.”
          “Kamu bohong.” Todongku.
          “Bohong? Tentang apa?”
          “Tadi om menghukum kamu kan.”
          Cakka menggeleng. “Kamu terlalu khawatir.” Cakka kemudian berbaring di sampingku.
         Aku tidak percaya pada kata-kata Cakka, aku pun menarik bajunya dan aku menemukan luka itu.
          “Lalu ini kenapa?”
          “Oh itu. Tidak apa-apa kok. Sudah jangan merasa bersalah seperti itu.”
         Dan saat itu Cakka kembali mengajarkan satu hal baru padaku. Ketabahan.
          “Aku obati ya. Aku ambil obat merah dulu.” Aku beranjak, mencari kotak P3K kemudian kembali ke Cakka dan mengobati luka merah di punggungnya.
          “Gantian ya.” Ujarnya saat aku sedang mengobati lukanya.
          “Maksud kamu?” tanyaku bingung sembari menatapnya.
          “Ingat tidak, waktu kita main sepeda di bukit dan kamu terluka. Aku kan yang mengobati kamu, sekarang kamu yang mengobati aku. Aku senang deh bisa diobatin sama kamu.”
          “Oh begitu. Tapi aku sedih lihat kamu terluka.”
          “Kenapa?”
          “Karena kamu luka gara-gara aku.”
          “Tidak apa-apa kok. Manis jangan menangis ya.” Cakka mengusap pipiku.
         “Hehehe aku cengeng ya.”
         Cakka tersenyum. Manis sekali.

****

          Sebelum aku kembali ke Banyumanik, Cakka menanyakan sesuatu padaku. Di halaman depan saat ayah dan om memasukkan barang-barang kami ke mobil.
           “Apa pernah ada seseorang yang setia ke kamu?” bisiknya.
          Aku menggebuk punggungnya. “Hei umurku masih 10 tahun. Kamu ini bicara sembarangan.” Seruku kesal.
           Karena aku yang terbilang ribut, ayah, om dan mama menoleh ke arahku.
            “Ada apa Oik?” tanya mama.
            Aku menggeleng cepat. “Ah bukan apa-apa kok, Ma.” Dan mereka bertiga kembali ke kegiatannya sebelumnya.
            “Gara-gara kamu sih.”
            “Iya maaf. Aku kan hanya bercanda. Kamu hati-hati di jalan, sampai di sana jangan lupa kabari aku.” katanya.
           “Kabari lewat telegram? Aku kan tidak punya ponsel, kamu juga tidak kan?”
           “Oh iya, hehehe.”
            “Huh! Dasar kamu.” Aku masuk ke mobil om yang akan mengantarkanku ke Banyumanik. Aku menurunkan kaca mobil dan menatap Cakka sembri tersenyum.
            “Dadah.” Cakka melambai dan aku membalas lambaiannya.
            Aku terus menoleh ke belakang sampai sosoknya tidak lagi terlihat.

****

            Saat kembali ke sekolah, aku menceritakan semua tentang Cakka pada Agni, sahabatku. Dia iri padaku, karena belum pernah ada anak laki-laki yang mengistimewakannya seperti itu. Agni memang tomboy tapi hobbynya adalah mempermainkan laki-laki. Dia bilang ingin memberi pelajaran pada laki-laki.
             “Aku yakin Ik, Cakka itu suka dengan kamu.”
             “Hush.. Kamu ini bilang suka seenaknya saja. Aku itu masih kecil.”
             “Ya cinta kan tidak memandang usia. Ada yang namanya cinta monyet.”
            “Tapi aku bukan monyet, Ni.”
            Agni merangkulku. “Lemot. Cinta monyet itu. Kamu dan Cakka saling suka sedangkan kalian masih kecil, ya bisa saja suatu saat nanti rasa suka itu hilang.”
            “Ah, Agni mau mempengaruhi aku jadi playgirl ya.”
            “Terserah sih. Tapi aku sudah bilang ya.”
            Aku tidak ingin membenarkan itu apalagi diusiaku yang terbilang masih muda itu. Sebenarnya aku juga tidak mau terlalu banyak berharap, tapi Cakka yang membuatku terus berharap.

****

            Dua tahun kemudian, aku kembali ke Bandung. Hanya pergi untuk berlibur. Hari itu rumah kembali sepi. Orang tuaku dan orang tua Cakka jalan-jalan ke perkebunan milik orang tua Cakka. Keke belum pulang sekolah. Di rumah hanya ada aku, Cakka, dan Irsyad. Kami bertiga bermain tebak-tebakan di depan televisi.
             “Siapa yang bisa jawab. Kenapa matahari cuman satu?” tanya Cakka.
             “Aku tahu!” seru Irsyad.
            “Ayo kenapa?” tanya Cakka.
            “Karena mataharinya tidak sanggup membelah jadi dua.”
            “Salah.”
            “Lalu kenapa?” tanyaku.
            “Karena matahari satu saja, Irsyad sudah hitam. Bagaimana kalau dua, pasti kulit Irsyad sudah melepuh.” Jawab Cakka.
            Irsyad manyun dan aku hanya menahan tawa, melihat ekspresi Irsyad.
            “Ih Kak Cakka.” Irsyad menatap tajam ke arah Cakka kemudian menatapku. “Kak Oik tahu tidak Kak Cakka it sudah punya pacar.” Irsyad memberitahu.
             “Oh iya, siapa namanya?”
             “Namanya Kak Shilla.”
             “Bohong, Ik. Jangan percaya dengan Irsyad.” Cakka melototi Irsyad dan Irsyad hanya menjulurkan lidahnya.
             “Anak kecil itu tidak pandai berbohong, Cakka.”
            Aku sedikit kecewa karena aku sadar kalau ternyata aku suka pada Cakka. Karena semua perhatian yang pernah dia berikan padaku dan membuatku merasa Cakka peduli padaku karena suka, tapi aku juga tahu itu semua hanya harapanku saja.
             “Tapi Irsyad beda. Aku tidak punya pacar dan aku tidak kenal dengan orang yang namanya Shilla.”
             “Kak Oik jangan dengear Kak Cakka. Kak Cakka itu suka bohong. Kak Cakka-”
            Cakka segera menutup mulut Irsyad. Aku tidak tahu karena apa. Tapi sepertinya Cakka menyembunyikan sesuatu yang diketahui Irsyad.”
             “Mau bicara apa lagi. Masih kecil tapi sudah pandai berbohong.”
             “Ng...” Irsyad berusaha melepas tangan Cakka.
            Cakka kembali menatapku. “Ik, percaya kan dengan aku.”
            Aku hanya mengangguk kecil kemudian meninggalkan mereka berdua. Mungkin ada masalah yang harus mereka selesaikan.
             “Shilla. Dia adalah gadis yang sangat beruntung. Bisa mendapatkan Cakka yang baik dan perhatian.” Batinku kemudian duduk di teras rumah Cakka.
             “Ik, please percaya dengan aku. Aku tidak punya pacar namanya Shilla dan aku sama sekali tidak mengenal dia. Aku kan pernah bertanya padamu apa ada orang yang pernah setia denganmu, dan akulah orangnya. Jadi jangan percaya dengan Irsyad. Aku mohon” Cakka memelas di sampingku.
            Aku berbalik kemudian tersenyum. Dia menatapku dengan wajah polosnya. Mata sayunya membuatku semakin yakin dia tidak berbohong.
             “Kamu yakin?”
             “Aku yakin karena aku sudah berjanji.”
             “Yasudah aku percaya.”

****

             Malam menjelang. Jam dinding sudah menunjukkan pukul 10 malam. Orang-orang dalam rumah Cakka sudah tertidur. Walaupun besok libur, Cakka, Keke dan Irsyad tetap harus tidur di bawah jam 10 malam. Jika tidak mereka bertiga akan dimarahi oleh om.
             Tapi karena aku tidak bisa tidur, aku memilih menonton televisi. Sekarang di depan televisi Cakka sudah ada sofa. Jadi aku bisa duduk di sofa dan tidak akan kedinginan karena melantai.
             “Ik, mau main Play Station tidak?” tanya seseorang yang kemudian duduk di sampingku.
             Aku menoleh dan dia tersenyum manis. “Belum tidur. Nanti om marah.”
             “Dia sudah tidur kok.”
             “Kalau dia bangun?”
             “Tidak mungkin. Ayolah Ik, kita main PS.”
             “Aku tidak tahu main PS.” Aku berbohong. Saat ini aku sedang asyik menonton film action.
              “Aku akan mengajarimu.” Cakka mematikan televisi, kemudian mulai menyambungkan kabel-kabel PS.
             Aku mendengus melihatnya. “Ya, Cakka filmnya kan seru.”
              “Kamu suka main apa?” tanyanya, menghiraukanku.
              “Aku tidak bisa main, Kka” Jawabku.
              “Yaudah aku ajari kamu main GTA ya.”
              “Terserah deh.” Aku hanya pasrah, karena sepertinya keputusan Cakka tidak bisa diubah.
              “Ok.”
             Cakka memberikan stick kepadaku, aku meraihnya. Kemudian Cakka duduk di belakangku sembari memegang tanganku yang sedang memegang stick. Aku menoleh, menatapnya dari samping.
             Cakka yang mengerti akan arti tatapanku langsung tersenyum. “Biar aku lebih gampang mengajari kamu.”
              “Asalkan Shilla tidak marah, aku tidak keberatan sih.” Candaku.
             Cakka cemberut.
              “Oik, kok Shilla sih, aku kan sudah bilang kalau aku tidak suka dengan dia.”
             Aku tersenyum kemudian menepuk salah satu pipinya pelan. “Iya, iya. Tapi kamu kenal dengan dia kan.”
             “Tidak terlalu. Aku hanya tahu namanya.”
             “Dia cantik?”
             “Cantik, tapi aku lebih suka yang manis.”
             “Gombal. Jadi kapan kita main, kalau seperti ini.”
             “Kamu sih yang mulai.”
             “Hehehe.”
             Aku memang bisa main PS tapi tidak terlalu lancar apalagi kalau main GTA. Aku belum pernah memainkannya hanya melihat temanku saja dan setelah aku bisa kita pun bermain bersama, diselingi canda dan tawa.
             Jika melihat Cakka yang begitu serius main, aku mulai meledeknya dengan Shilla dan dia mengulang kalimat yang sama pula, bahwa dia tidak suka dengan Shilla. Bahkan dia sangat marah ketika aku bilang kalau dia itu lebih cocok dengan Shilla daripada dengan aku.
             Entah bodoh atau apa, hal itu membuatku semakin percaya Cakka setia. Apalagi dua tahun aku tidak bertemu dengan dia, tidak berkomunikasi dengan dia, tapi dia tetap ingat padaku dan perlahan aku melupakan kata-kata Irsyad tentang gadis yang bernama Shilla.

****

             Cakka. Aku benar-benar jatuh cinta padanya, di setiap aku pergi ke rumahnya atau bertemu dengannya, dia pasti selalu memperlihatkan kebaikannya padaku. Rasanya tidak seinci pun dari aku yang tidak dikhawatirkannya. Dia begitu baik, aku belum pernah melihat itu dia menyakitiku sehingga hal itu semakin membuatku buta dan tidak bisa memahami bahwa itu sekedar bentuk perhatian Cakka.
             Rumah kembali sepi. Wajar, kedua orang tua Cakka adalah pekerja kantor yang sering pulang malam. Opung lebih sering ke perkebunan, hanya sekedar melihat-lihat. Ayah dan mamaku sedang istirahat. Irsyad sedang main bola di samping rumah. Cakka sedang mengerjakan tugas kelompok di rumah temannya.  Aku dan Keke menonton acara televisi yang menurutku sangat membosankan.
             “Kak main sepeda yuk.” Ajak Keke yang juga merasa bosan dengan tontonan di depannya.
             “Aku mau pake sepeda siapa? Cakka kan sedang ke rumah temannya.”
              “Kita susul Kak Cakka saja.”
              “Memangnya dia mau meminjamkannya?”
              “Pasti mau. Ayo kita ke rumah temannya kak Cakka” Keke beranjak.
             Aku mengekor di belakang. Setelah mengambil sepedanya aku memboncengnya pergi ke rumah teman Cakka yang lumayan jauh dari rumah Cakka.
              “Kak Cakka... Kak Cakka...” Keke berteriak.
             Tidak lama kemudian Cakka keluar dari rumah temannya. “Ada apa?”
              “Aku dan Kak Oik mau main sepeda tapi kak Oik tidak punya sepeda. Pakai sepeda Kakak tidak apa-apa  kan?” tanya Keke.
              “Iya.”
              “Tapi, bagaimana nanti kalau kamu pulang?” tanyaku.
              “Kamu tenang saja. Aku bisa menyuruh teman aku untuk mengantar aku pulang.” Jawab Cakka tanpa ragu.
              “Yakin?”
             Cakka tersenyum. “Iya, aku serius. Sudah sana main dengan anak seumuran kamu.”  Cakka meledekku.
             Aku memukul pelan lengannya. “Dasar kamu.” Kataku.
             Aku kemudian mengambil sepeda Cakka.
              “Dah.” Keke melambai.
             Cakka tersenyum setelah kami pergi dia kembali masuk ke rumah temannya.
             Aku dan Keke pergi ke bukit dan bermain sepeda di sana hingga sore. Saat aku pulang, Cakka sudah ada di ruang tamu dengan tampilan seperti orang yang ingin bepergian. Wangi parfumnya menyengat hingga ke hidungku, aku duduk di sampingnya dengan keringat yang bercucuran.
              “Kamu mau ke mana wangi sekali?” tanyaku.
              “Memang kalau aku pakai parfum berarti aku mau pergi ke suatu tempat?” tanya Cakka balik.
              “Biasanya kamu pake parfum kalau mau ke sekolah atau jalan dengan teman kamu, kan.” Kataku.
              “Aku dapat parfum baru, jadi aku mau pamer.” Balasnya.
             “Dasar.”
              “Eh kamu mandi gih. Keringatan banget, nanti bau loh.” Katanya.
             Aku berdiri dengan malas. “Iya.” aku menyeret langkah kakiku masuk ke kamar Cakka –tempatku menyimpan barang-barangku- untuk mengambil handuk kemudian mandi.
             Malam itu aku habiskan bermain berdua saja dengan Cakka. Kita main tebak-tebakan dan kadang Cakka melemparkan guyonan yang berlebihan dan membuatku tertawa lepas yang kemudian om menegur kami yang terlalu ribut.

****

             Sepelas Idul Adha kali ini, ayah tidak berencana untuk membawaku liburan ke Bandung. Karena keluarga Cakka lah yang akan mengunjungi kami di Banyumanik.
             Hari itu orang tua Cakka sedang berbincang dengan orang tuaku, adik-adik Cakka sedang bermain, dan aku asyik sms-an dengan Agni di gazebo yang ada di belakang rumahku. Aku curhat dengannya, tentang Cakka yang sedang ada di rumahku.
             Aku menekan tombol ponselku sembari tesenyum membaca pesan dari Agni. Baru saja aku menekan tombol send, seseorang merebut ponselku kemudian berbaring di sampingku, aku menatapnya dengan tatapan sinis. Siapa lagi kalau bukan Cakka.
              “Cakka. Kembalikan.”
              “Aku tidak mau.”
              “Cakka apa-apaan sih!” Kesalku. Aku tidak mau kalau dia sampai membaca pesan terkirimku untuk Agni.
              “Sebentar, Ik. Aku mau mencari sms dari pacar kamu.”
             Deg! Pacar? Apa Cakka tidak percaya padaku atau dia sudah melupakan semua kata-katanya.
              “Tidak ada Cakka. Aku tidak punya pacar.”
              “Sebentar deh Ik. Aku sedang serius nih.”
              “Menyebalkan.” Aku tidak berhenti mencoba merebut ponselku dari tangan Cakka.
              “Sayangku Oik, kamu sedang apa.” Cakka seolah membaca pesan masukku.
              “Cakka. Ih aku tidak punya pesan seperti itu.” Aku berusaha merebut ponselku, namun Cakka menahan lenganku, lalu mengubah posisinya, membuatku sedikit bergeser dari posisi semula, Badannya yang tadi membelakangi aku sekarang berada di bawahku. Aku bisa merasakan detak jantungnya dan aku bisa menatap mata indahnya. Ini pertama kalinya dalam hidupku menatap wajah seseorang dengan jarak yang begitu dekat. Ya, diusiaku yang masih 13 tahun.
              “Ng... Cakka?” Gumamku.
              “Aku percaya kok kamu tidak punya pacar. Aku percaya kamu ingat semuanya. Tadi itu aku hanya menguji kamu.” Cakka tersenyum jail.
             Aku membulatkan mataku, lalu bangun, dia juga bangun. Kemudian aku memukuli lengannya.
              “Ih dasar kamu. Suka banget sih bikin aku panik, kamu itu suka bikin aku khawatir.” Tanpa sadar aku menangis.
              “Hei, aku minta maaf. Jangan cengeng Oik, kamu sudah besar. Jangan menangis lagi ya.” Cakka menghapus air mataku diselingi dengan senyumannya.
              “Tapi kamu janji jangan kerjain aku lagi.”
             Cakka mengacungkan kelingkingnya. “janji!” balasnya.
             Aku pun melingkarkan kelingkingku di kelingking Cakka.
              “Oik, tunggu sampai umurku 16 tahun!”
              “Memangnya kenapa?”
              “Aku akan memberikan sesuatu.” Cakka tersenyum kemudian mengacak rambutku.

****

           Bisa dibilang semenjak saat itu Cakka belong with me, bersama dia aku begitu bahagia, walau kita jauh tapi setiap kita bertemu dia selalu ingat aku, orang pertama yang dia cari adalah aku, Oik. oh sungguh aku melayang jika membayangkan semua yang di berikan Cakka.
          Tapi sayang semua itu berubah, ketika aku menginjakkan kakiku di kelas X, sekitar 2 tahun yang lalu, aku tidak tahu apa penyebabnya, tapi yang aku dengar Cakka menyangka bahwa aku memiliki kekasih yang bernama Alvin. Padahal Alvin hanya temanku, itu juga dulu ketika aku masih SMP, karena saat aku SMA dia sepertinya lupa denganku.
          Dua tahun lalu, saat pernikahan sepupu Cakka di Banyumanik, Dia datang, tentu saja aku senang. Aku bersorak gembira, orang yang kutunggu selama ini datang. Aku menghampirinya dan melempar senyum ke arahnya.
          “Hai Cak-” Belum selesai, dia berlalu begitu saja. Seolah tidak mengenal siapa diriku.
          “Hai Deb bagaimana kabarmu?” Cakka menghampiri Debo.
          Cukup lama dia berbincang dengan Debo, Debo pun berlalu dan saat itu Cakka melirikku.
           “Hai.” Cakka kemudian mendekati aku.
           Aku tersenyum “Hallo. Kamu Cakka kan?” Aku memastikan.
           “Iya. Hm... Kamu...” Cakka seolah berpikir.
           Ponselnya berdering, dia meliriknya dan aku sempat melihat nama yang tertera di ponselnya. “Permisi ya.” Pamit Cakka.
           Aku mengangguk kecil. “Tadi dia berusaha berpikir untuk tahu siapa nama aku dan yang menelpon jangan-jangan pacarnya. Namanya kok Honeyku Shilla.” Batinku.
            Aku teringat sesuatu. “Shilla. Dia?”
           Tidak, tidak mungkin Cakka lupa janjinya, tidak mungkin Cakka lupa dengan aku. Cakka ini aku, Oik.
           Aku berlari keluar dari rumah sepupu Cakka, menatap wajahnya dari jendela, tidak ada yang berubah dengan wajahnya, tapi kenapa sifatnya berbeda. Aku berusaha menguatkan diriku, mencoba tersenyum, melihat dia yang tidak mengacuhkanku, aku berbalik dan tanpa aku sadari ternyata Debo ada di belakangku.
           “De...Debo? sejak kapan kamu di situ?” tanyaku, kaget.
           “Baru saja.”
           “Kamu mencariku?”
           Debo mengangguk. “Kenapa kamu keluar, acaranya kan belum selesai?” Debo melirik ke dalam pesta.
           “Aku tidak enak badan, Deb.”
           “Oh iya Ik, aku dengar dari Obiet katanya kamu dekat dengan cowok yang namanya Alvin ya?”
           “Alvin? Bagaimana bisa dekat, kenal saja tidak.”
           “Kalian tidak saling mengenal. Padahal Obiet bilang, kalian pacaran.”
           “Ah Obiet mengarang cerita saja. Aku pulang dulu ya, Deb. tidak tahu kenapa kepalaku pusing.”
           “Kamu hati-hati ya.”
          “Iya.” Aku berlari meninggalkan Debo.
          Mataku terasa panas dan perlahan sungai kecil terbentuk di pipiku.
          “Kamu salah paham Kka. Alvin bukan siapa-siapa aku.”
         Aku memang suka pada Alvin tapi aku tidak bisa mengartikan rasa suka itu, apakah aku kagum, cinta, ataupun sayang padanya. Aku hanya suka dengan Dia, suka menyebut namanya, dan suka mendengar namanya.
         Hanya itu, tapi dengan Cakka, aku suka segala hal tentang Dia, bahkan aku bisa mengartikan suka itu menjadi sayang padanya, aku sayang dengan Cakka karena segala hal yang pernah Dia ajarkan.
          “Hei, aku minta maaf. Jangan cengeng Oik, kamu sudah besar. Jangan menangis lagi ya.”
         “Apa sekarang Cakka juga sedang mengujiku?”

****

         Entah kenapa waktu begitu lama berlalu. Membuat rasa kecewa yang kualami semakin sulit untuk aku lupakan.
         “Wajahmu galau terus. Ada masalah.” Agni mengulurkan minuman dingin.
         Aku meraihnya dan langsung meneguknya.
         “Ingin cerita?” Agni menatapku.
         “Kamu pernah bilang kan, Cakka itu suka dengan aku.”
         Agni mengangguk.
         “Sepertinya kamu salah. Dia bahkan tidak mengingatku.”
         “Kalian bertemu di mana?”
         “Di acara pernikahan keluarga aku. Sebulan yang lalu.”
         Agni menepuk pundakku. “Mungkin kamu semakin cantik jadi dia agak lupa. Apalagi acara pernikahan kan ramai.”
         “Jangan mengajari aku mengharapkan sesuatu yang tidak mungkin, Agni.”
         “Aku kan bilang maybe Oik. Lagi pula tidak ada salahnya berharap.”
         “Aku menyesal curhat ke kamu, Ni. Aku malah diajar yang tidak-tidak.” Aku cemberut.
         Agni malah tertawa melihatku. “Ya, sahabatku tambah galau deh. Ayo senyum.” Agni menarik ujung bibirku.
         Aku tersenyum paksa, kemudian Agni mengelitiku, reflect aku tertawa. Dan ternyata tidak sepenuhnya aku sepi kehilangan Cakka karena masih ada Agni yang mencoba untuk mengukir senyumku.

****

         Aku mengayuh sepedaku. Liburan kali ini aku menghabiskan waktuku untuk bermain di sungai dengan Agni. 2 tahun terakhir ini ayah dan mama tidak ke Bandung setiap liburan. Selain karena pekerjaan ayah yang menumpuk, ayah juga sering sakit.
         Dalam perjalan, aku melewati rumah Debo, aku melihat seseorang berjalan keluar, aku memperlambat laju sepedaku agar aku bisa berpapasan dengannya.
          “Hai Cakka.” Aku turun dari sepeda dan menghampirinya.
          “Hai. Kamu Oik kan?”
          “Iya. Kamu ingat.”
          “Hm... Obiet pernah cerita sih tentang cewek yang namanya Oik. Dia pacaran dengan Alvin dan hubungan mereka sudah berjalan 2 tahun. Langgeng ya.” Cakka menyalami tanganku sesaat.
         Hatiku yang selama ini melayang di langit seolah di hempaskan berkali-kali di bumi. Bagaikan pesawat sukhoi yang menabrak gunung salak, hancur lebur, seperti itulah aku bisa mendeskripsikan perasaanku saat ini. Aku tidak menyangka semudah itukah dia percaya pada orang lain.
          “Terima kasih itu merupakan sindiran terhalus yang pernah kuterima.” Gumamku.
          “Oh, aku juga dengar dari Debo, katanya sekarang kamu bahagia dengan Shilla. Langgeng ya.” Aku mencoba untuk tersenyum.
         Cakka tersenyum.
         “Hm... aku duluan ya, Kka.”
         “Iya, hati-hati.” Cakka melambai.
         Aku terus mengayuh sepedaku dan tidak lagi menoleh ke belakang.  “Mana janjimu Kka.”

****

         Kufikir masalahku akan selesai ternyata tidak, aku semakin sakit. Cakka benar-benar lupa janjinya. Aku kecewa dengan Cakka, Aku sakit, dan aku benar-benar kehilangan, kehilangan sebagian dari hidupku, kehilangan cintaku, kehilangan sosok yang berarti dalam hidupku, serta kehilangan rasa, rasa untuk kembali mencintai.
         Apa Cakka tahu betapa selama ini dia menggantung perasaanku. Aku sudah berharap saat dia datang, dia akan mewujudkan janjinya. Janji yang aku tidak tahu apa, tapi aku percaya bahwa janji itu adalah bukti dari semua kebaikannya.
         Tapi kenapa Kka, kenapa berakhir seperti ini, kenapa kisahku benar-benar menggantung. Kenapa cinta yang kuharapkan itu tidak nyata, apa kamu akan setia pada semua orang, aku memang bodoh begitu mudah percaya kata-katamu, begitu mudah untuk menyayangi orang yang sangat baik padaku.
         Aku mungkin terlalu berharap pada Cakka, aku terlalu percaya atas harapan yang diberikan Cakka, dan betapa bodohnya aku, harus percaya pada janjinya. Andai saja aku tahu semua akan seperti ini, dari dulu aku tidak akan menolak mereka yang datang dalam hidupku. Karena penantianku yang sia-sia.
         Aku benar-benar tidak bisa lagi merasakan bagaimana arti cinta sesungguhnya. Karena Cakka, karena Dia aku harus menderita sendirian. Sudah kucoba untuk setia tapi apa, Dia hanya menyakitiku bahkan melupakan aku, atau inikah arti cinta yang sesungguhnya. Sakit bagi mereka yang setia, dan bahagia bagi mereka yang ingkar. Oh sungguh cinta itu tidak adil.
         “Masih tidak bisa move on dari Cakka?” Agni duduk di sampingku.
         Aku mengangguk. “Aku sudah mencobanya dan tetap saja tidak bisa.”
          “Kamu tidak bisa melupakan Cakka jika terus mengingatnya. Cobalah buka hatimu, seseorang pasti bisa membantumu melupakannya.”
          “Menjadikannya sebagai pelampiasan maksudmu?”
          “Tidak juga. Karena setelah itu kamu bisa suka dengan dia.”
          “Lalu, saat dia meninggalkanku, aku harus mencari yang lain lagi untuk melupakannya lagi?”
         Agni mengangkat kedua bahunya. “Maybe.”
         Oik tertawa meremehkan. “Aku tidak bisa seperti itu. Aku tidak mau punya mantan segudang.”
          “Yasudah terserah kamu sajalah. Yang penting aku sudah memberi saran.” Agni merangkulku.
         Aku sadar aku sudah buta, buta akan cintanya Cakka, buta akan segala yang diajarkan Cakka, hatiku benar-benar tertutup rapat, semua karena Cakka. karena dia aku sulit membuka hatiku untuk cinta yang lain, karena dia dan kebodohanku, aku trauma dan merasakan sakit yang begitu mendalam.
         Aku mencoba untuk melupakan sosok Cakka dalam hatiku, namun sulit, sangat sulit, sama sulitnya mengingat orang yang tidak aku kenal. Aku tidak bisa melupakan segala kebaikannya, aku sulit untuk mengingat kesalahannya. aku benar-benar tidak sanggup untuk menghapus namanya dari hatiku.
         Setiap kali ada yang datang, aku mencoba untuk menerimanya, tapi ketika aku benar-benar ingin menerimanya dari hatiku, tiba-tiba saja, nama Cakka terbayang, dan segala yang membuatku terluka karenanya teringat, membuatku trauma untuk menerima cinta yang lain selain cintanya, aku takut, aku takut untuk mencintai cinta yang lain, karena aku tidak ingin merasakan sakit itu lagi, cukup dia, dia yang membuatku benar-benar hancur.
         Aku juga takut, takut di tawarkan kebahagiaan, takut diberi harapan, karena seperti itu awalku dengan Cakka namun tidak kusangka akhirnya menjadi seperti ini, Hanya sepihak yang bahagia.
         Cakka Masihkah Ku Dihatimu? Aku ingin Cintamu Jangan Pergi dari hidupku, apalagi Saat Aku Mencintaimu. Kepergianmu membuatku terluka karena hanya kamu Pemilik Hati ini dan hanya kamu yang bisa membuat hatiku Utuh. Apakah ini Unilateral Love? Kuharap bukan karena bagiku kamu adalah Hal Terindah di Kehidupanku.
         Ya, inilah Sepenggal Kisahku penuh dengan harapan, penantian, dan masih butuh sebuah Kepastian dari janji yang pernah kau utarakan.

_The End_

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cinta Preman Kepentok Anak Pesantren (Cast & Sinopsis)

Utuh (cerpen)

Pengorbanan (Cerpen)